Daftar Blog Saya

Rabu, 27 Februari 2013

sepotong episode...


 Kisahku ini berawal saat aku masuk SMP, saat dimana aku menjadi sosok yang selalu bikin onar. Tak sedikit hukuman yang pernah kurasakan. Aku adalah anak perempuan yang tomboi, kerjaanku hanyalah bikin ribut saja. Hal ini disebabkan karena aku ingin mencari perhatian dari kedua orang tuaku yang selalu sibuk dengan pekerjaan mereka tanpa memperdulikan hidupku.
Hari ini, aku memegang erat surat peringatan dari sekolah. Permasalahannya tidak terlalu rumit sih, gara-gara “anak” itu, kini aku harus merasakan kebingungan yang amat sangat.
            Anak itu adalah anak kepala sekolah, teman berantem disela-sela jenuhnya belajar. Kita emang beda kelas, tapi “kedekatan” kita sebagai pasangan yang selalu ribut tiap hariny telah menjadi rahasia umum di sekolah ini. Sampai suatu ketika, kejadiaan yang tidak disangka-sangka…

Seusai shalat dzuhur, kucari-cari sepatuku yang tersimpan di loker penyimpanan. Tapi nihil… tatkala kulihat ke atas genting mushola, sepatuku terpasang indah di atas sana plus kaos kakinya yang melambai-lambai tertiup angin. Di sudut mushola kudengar tawa renyah dari anak itu.
“hahhaaa… emang enak!! Makanya jangan bikin ulah sama gue.”  Amarahku meluap-luap, tapi tak terlampiaskan. Rasanya sesak sekali… Akhirnya, syaitan berhasil menguasai pikiranku. Sepatu pentofel temanku yang masih tersimpan rapi di dalam loker itu dengan cepat melayang ke arah mukanya. Kulihat ia mengarung kesakitan, hidung dan mulutnya berdarah. Raungannya mengagetkan orang-orang yang masih berada di dalam mushola. Dengan cepat mereka keluar, menatapku tak percaya. Seseorang dengan sigap melaporkan kejadian itu pada kepala sekolah. Hingga akhirnya, sebuah surat peringatan ini ada didalam genggaman tanganku.
            Apa yang harus aku lakukan??? Minta maafkah?? Tidak. Ini bukan salahku, salah sendiri bikin aku kesal. Terus, gimana nasibku??? Aku takut, abah akan marah besar… Atau, surat ini aku buang saja?? Anggap saja kejadian ini tak pernah terjadi… Tapi gimana kalau nanti kalau aku ditanya oleh pak kepala sekolah… Aaaaarrrggghhh… hidup ini kejam!!! Pikirku.
            Hingga akhirnya…
Plaaakkk…!!!
            Tangan kokoh abah (ayah) mendarat dipipiku. Sesaat ku tatap wajah abah yang memerah. Luapan amarahnya yang baru pertama kali kulihat membuat syaraf dendritku mengeras.
Aku ditampar??? Semarah itukah abah hingga ia menamparku?
“Surat peringatan lagi??? Ini yang ke tiga kalinya kamu menyerahkan surat peringatan padaku. Astagfirullah… apa salahku ya Allah… salahkah aku dalam mendidiknya???” Abah terduduk di depanku. Terdengar isak tangis ibu yang seolah ditahan.
Kutundukan wajahku, aku malu dan aku menyesal… Mataku terasa panas sekali, seolah akan terjadi badai lahar dari mataku. Kurasakan otot lakrimalku kaku.
Hening…
            Hingga akhirnya aku bejalan gontai menuju kamarku. Di dalam kamar, badai lahar itu akhirnya keluar juga, setelah sekian lama membeku kini aku benar-benar menangis. Di sela tangisku, kudengar pembicaraan abah dan ibu… Aku akan dimasukankan ke pesantren??? Ya Allah… aku gak mau!!! Bukankah pesantren itu suatu tempat yang mengerikan??? Banyak peraturannya… Aku gak mau!!! Isak tangisku makin menjadi.
            Esoknya, aku berangkat sekolah bersama abah. Ku trus berdoa semoga abah berubah pikiran untuk tidak memasukanku ke pesantren.
“Hmm.. bah, benarkah aku mau dimasukan ke pesantren? Bukankah pesantren itu tempat yang tidak mengasyikan? Bukankah pesantren itu tempat untuk mencetak generasi muda menjadi seorang yang kuper??” Ku coba menanyakan sesuatu yang mengganjal pikiranku.
“Hmmm…” abah tidak menjawab pertanyaanku. Hanya “hmm” saja?? Maksudnya apa?
            Sesampainya di sekolah, ku duduk di kursi dalam ruangan yang ber-AC, ya inilah ruangan kepala sekolah. Setelah berdiskusi cukup lama, akhirnya aku diberikan kesempatan sekali lagi untuk tetap berada di sekolah ini dengan syarat aku tidak membuat onar lagi, dan….. oh tidak… aku harus minta maaf pada anak yang belagu itu??? Iihhh.. amit-amit deh… tapi ini harus kulakukan demi menjaga nama baik keluargaku juga. Oke no problem…
            Hari itu, aku belum diizinkan untuk mengikuti pelajaran. Oleh karena itu, abah langsung mengajaku pulang. Huufhh.. alhamdulillah akhirnya masalahku beres juga, gak jadi masuk pesantren deh,,, yeeeeeeeeeesss!!! Pikirku.
            Tapi… kok abah membelokan motornya ke arah yang berlawanan dengan rumahku???
Menyusuri jalan yang tidak aku kenal,,, walaupun ternyata kawasan ini dekat dengan sekolahku, tapi aku merasa asing dengan tempat ini. Sekilas ku lihat sebuah tulisan Arab indah di sebuah gapura di tengah-tengah gerbang masuk yang sangat besar.
MA’HAD MIFTAHUL FALAH??? Apa-apaan ini???
            Abah disambut hangat oleh seoranga laki-laki paruh baya, seolah ia sudah kenal lama sama abah. terlihat akrab sekali. Sesekali ku perbaiki jilbabku yang pendek, kutarik-tarik hingga menutupi dada, tapi tetap saja tak bisa. Ya, aku berkerudung pendek saat aku masuk SMP itu juga karena paksaan dari abah. Kuedarkan mataku menyusuri tempat-tempat di sekelilingku. Inikah yang dinamakan pesantren itu? Cewe-cewenya alim-alim banget, pake kerudung gede dan rok komplit dengan kaos kaki dan kain kecil yang dipakaikan dilengannya(manset). Gak gerah apa???.

“Nak… abah cuma mengantarmu saja, sekarang abah mau pulang ke rumah, barang-barangmu udah di bawa ke sini sama ibu tadi padi. Dan sekarang semuanya sudah tertata rapi di kamarmu yang baru. Belajar yang bener ya dan kamu bisa pulang kalau kamu benar-benar sudah sadar dan berubah…” Aku kaget, seketika itu juga abah pergi. Punggungnya kulihat hingga akhirnya tak terlihat, suara motor abahku kini semakin menjauh. Ingin sekali ku berteriak, AKU MAU IKUT PULANG…

            Hari-hariku begitu tidak menyenangkan. Tiap hari aku mengaji, tapi aku tak mengerti apa yang sedang kupelajari. Disini, tetap saja aku selalu bikin onar, dan tiap hari Pak Kiayi melaporkan itu semua pada orang tuaku, hingga hari itu pun tiba…
Ibu sakit parah. Kata abah, ibu sakit gara-gara menangisi sikapku tiap malam.
            Aku ingin pulang, aku ingin melihat kondisi ibu. Tapi aku tidak diizikan pulang oleh abah dan pak kiayi. Aku menangis, ingin rasanya kupeluk tubuh ibu, meminta maaf padanya. Saat itu pula aku pinjam telepon dari pesantren, suara abah terdengar sayup-sayup dari sebrang sana. Aku ingin mendengarkan suara ibu… tatkala kudengar suara parau ibu, seketika itu pula aku menangis tersedu.. begitu kangennya aku padamu bu… sudah hampir satu tahun aku tak bertemu denganmu.
“Jadilah anak yang shalehah ya nak, jangan sia-siakan perjuanganmu di pesantren. Petiklah buah yang manis dari semua kerja kerasmu disana. Kekuatan dan keinginan untuk berubah ada pada hatimu nak.” Isak tangis ibu terdengar jelas di telingaku.
Di kobong(kamar), Kutunaikan shalat malam, kulantunkan doa dan ayat Al-Quran. Hingga aku tertegun pada sebuah ayat di dalam Al-Quran.
“Sesungguhnya Allah tidak akan mengubah nasib suatu kaum kecuali kaum itu sendiri yang mengubah apa apa yang pada diri mereka ” QS 13:11
 Pantaskah aku untuk berubah setelah banyak kesalahan yang telah membuat orang tuaku menangis karnanya??? Aku ingin berubah ya Allah…
            Kupakai kerudung panjang yang terlipat rapi di dalam lemariku, ibuku yang membelikan ini semua. Tapi tak pernah sekalipun aku memakainya. Seketika kutatap cermin, kuteteskan embun dingin dari mataku, tak pernah kurasakan ketenangan batin seperti ini. ada gemuruh indah di batinku. Inikah hidayahMU wahai Allah yang membolak-balikan hati???
“Kan ku genggam hidayah ini erat-erat selamanya”
            Mulai saat ini aku adalah aku yang baru, aku yang akan senantiasa menjaga sikap. Aku yang akan membuat lengkungan senyum bangga di bibir abah dan ibu, saatnya aku bertransformasi dari seeokor ulat menjadi kupu-kupu, dari seekor itik menjadi angsa. Saatnya aku menorehkan sejarah hidupku yang baru dan menutup lembaran suramku, cukup dijadikan suatu pelajaran saja apa yang sudah terjadi. Istiqomahkan aku ya Allah.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar