“Aku harap ada waktu untuk aku, kau, dan 2 cangkir teh hangat. Sepotong fajar akan menemani kita. Itu saja cukup.”
-Azizah-
Ada kata-kata yang sering ingin aku utarakan pada seseorang, ingin sekali aku berceloteh: “Udah lama ya Kang kita nggak ngobrol.” Atau, “Kang, aku pengen ngobrol banyak sama Akang.”
Ah, semoga kau tak bosan mendengar kata-kata itu. Aku akan terus
mengatakannya sampai kita benar-benar bisa merangkai kata bersama.
Bukan
hanya sekedar celotehan, tapi memang aku ingin sekali berbincang
dengannya. Banyak yang ingin aku sampaikan padanya, banyak yang ingin
aku diskusikan dengannya, banyak yang ingin aku tahu darinya. Aku hanya
ingin kita berbincang-bincang santai saja, tersadar bahwa aku dan dia
tidak pernah berbincang-bincang panjang sebelumnya. Hanya ada kata-kata
tegur sapa basi yang sering kudengar dan kukatakan padanya. Tatapan mata
tidak cukup untuk menjelaskan semuanya bukan? Walaupun terkadang aku
bisa menangkap gerak-gerik tubuhnya, intonasi suaranya yang seakan
menjelaskan apa yang ingin dia sampaikan, tapi itu semua masih belum
cukup. Bisakah kita menguatkannya dengan bingkai kata-kata? Agar semua
menjadi jelas.
Mungkin
memang alam belum berkonspirasi dengan tuannya untuk “memepertemukan”
aku dan dia. Namun aku masih terus menapaki jejak-jejaknya, walaupun
terkadang jejaknya tak berbekas ataupun samar. Lelah? Tentu saja! Tak
jarang aku menghapus jejaknya!
Kau tahu, untuk kesekian kalinya aku katakan padamu, bahwa aku hanya ingin berbincang dengannya, sederhana bukan?
“Aku harap ada waktu untuk aku, kau, dan 2 cangkir teh hangat. Sepotong fajar akan menemani kita. Itu saja cukup.”
Aku
tidak meminta banyak waktumu, waktuku dan waktumu hanya sebatas dua
cangkir teh hangat, tidak lebih. Dua cangkir teh hangat untuk
berbincang-bincang, menjelaskan dan memahami apa yang telah kita rasakan selama ini. Sepotong Fajar aku kira cukup indah untuk menemani kita,
ia saja malu menatap kita, diam-diam, pelan-pelan, kembali ke
peraduannya, enggan menguping pembicaraan kita. Seakan-akan ia cemburu.
Aku
tidak akan membiarkanmu menambah satu cangkir teh lagi, karena itu akan
memperpanjang perbincangan dan membuatmu mengarang kata-kata. Aku juga
tak rela jika secangkir teh itu tidak kau habiskan, kerena aku takut ada
kata-kata yang masih kau sembunyikan. Untuk itu, nikmatilah secangkir
teh hangat ini dengan rasamu, jangan terburu-buru. Nimatilah.
Ketika Teh dicangkirmu dan dicangkirku sudah mulai dingin
dan tinggal setengah, aku berharap kau dan aku tidak bersikap dingin
layaknya teh itu, tapi justru tersenyum menghabiskan sisa teh dan
mengantarkanku pulang seiring tenggelamnya sang fajar. Saat itu aku
yakin, kau telah mengambil keputusan yang tepat dan terbaik untuk kita.
“Kita tinggalkan dua cangkir kosong dan fajar yang mulai terlelap, namun kehangatan itu akan terus terasa di hati ini.”
Jatinangor, 3 November 2012
10.00 PM
^ZachryZah^
Tidak ada komentar:
Posting Komentar