Daftar Blog Saya

Kamis, 28 Februari 2013

Dua Cangkir Teh Hangat^^




“Aku harap ada waktu untuk aku, kau, dan 2 cangkir teh hangat. Sepotong fajar akan menemani kita. Itu saja cukup.”
-Azizah-

Ada kata-kata yang sering ingin aku utarakan pada seseorang, ingin sekali aku berceloteh: “Udah lama ya Kang kita nggak ngobrol.” Atau, “Kang, aku pengen ngobrol banyak sama Akang.” Ah, semoga kau tak bosan mendengar kata-kata itu. Aku akan terus mengatakannya sampai kita benar-benar bisa merangkai kata bersama.
Bukan hanya sekedar celotehan, tapi memang aku ingin sekali berbincang dengannya. Banyak yang ingin aku sampaikan padanya, banyak yang ingin aku diskusikan dengannya, banyak yang ingin aku tahu darinya. Aku hanya ingin kita berbincang-bincang santai saja, tersadar bahwa aku dan dia tidak pernah berbincang-bincang panjang sebelumnya. Hanya ada kata-kata tegur sapa basi yang sering kudengar dan kukatakan padanya. Tatapan mata tidak cukup untuk menjelaskan semuanya bukan? Walaupun terkadang aku bisa menangkap gerak-gerik tubuhnya, intonasi suaranya yang seakan menjelaskan apa yang ingin dia sampaikan, tapi itu semua masih belum cukup. Bisakah kita menguatkannya dengan bingkai kata-kata? Agar semua menjadi jelas.
Mungkin memang alam belum berkonspirasi dengan tuannya untuk “memepertemukan” aku dan dia. Namun aku masih terus menapaki jejak-jejaknya, walaupun terkadang jejaknya tak berbekas ataupun samar. Lelah? Tentu saja! Tak jarang aku menghapus jejaknya!
Kau tahu, untuk kesekian kalinya aku katakan padamu, bahwa aku hanya ingin berbincang dengannya, sederhana bukan?
“Aku harap ada waktu untuk aku, kau, dan 2 cangkir teh hangat. Sepotong fajar akan menemani kita. Itu saja cukup.”
Aku tidak meminta banyak waktumu, waktuku dan waktumu hanya sebatas dua cangkir teh hangat, tidak lebih. Dua cangkir teh hangat untuk berbincang-bincang, menjelaskan dan memahami apa yang telah kita rasakan selama ini. Sepotong Fajar aku kira cukup indah untuk menemani kita, ia saja malu menatap kita, diam-diam, pelan-pelan, kembali ke peraduannya, enggan menguping pembicaraan kita. Seakan-akan ia cemburu.
Aku tidak akan membiarkanmu menambah satu cangkir teh lagi, karena itu akan memperpanjang perbincangan dan membuatmu mengarang kata-kata. Aku juga tak rela jika secangkir teh itu tidak kau habiskan, kerena aku takut ada kata-kata yang masih kau sembunyikan. Untuk itu, nikmatilah secangkir teh hangat ini dengan rasamu, jangan terburu-buru. Nimatilah.
Ketika Teh dicangkirmu dan dicangkirku sudah mulai dingin dan tinggal setengah, aku berharap kau dan aku tidak bersikap dingin layaknya teh itu, tapi justru tersenyum menghabiskan sisa teh dan mengantarkanku pulang seiring tenggelamnya sang fajar. Saat itu aku yakin, kau telah mengambil keputusan yang tepat dan terbaik untuk kita.
“Kita tinggalkan dua cangkir kosong dan fajar yang mulai terlelap, namun kehangatan itu akan terus terasa di hati ini.”
Entah kapan, suatu saat aku ingin berbincang denganmu.. ^^

Jatinangor, 3 November 2012
10.00 PM
^ZachryZah^


sahabat kecilku part 1

Anak kecil itu bernama Muhammad Nur Sandi, orang-orang biasa memanggilnya Sandi. Umurnya baru 7 tahun setengah, ia tinggal berdua dengan bapaknya di rumah kecil yang berada di belakang Asrama Padjadjaran 2. Rumah kecilnya sebenarnya ‘tidak benar-benar rumah’ melainkan bekas ruang kantor PDAM yang sudah tidak terpakai. Di sana hanya terdiri dari 2 ruangan, yaitu ruang tamu yang sekaligus menjadi ruang tidur, dan kamar mandi berukuran ± 1x2 m. Sandi adalah satu-satunya anak laki-laki dikeluarganya, ia sulung dari 3 bersaudara, kedua adiknya perempuan.
****
Beberapa tahun silam, Ibu Sandi baru berumur 16 tahun ketika menikah dengan bapak Sandi. Usia yang sangat muda bahkan bisa dikatakan masih belia. Beliau adalah sosok perempuan yang sabar, perhatian, sederhana dan penuh kasih sayang. Sayangnya, beliau kini sudah tidak ada di dunia ini lagi, ibu Sandi berpulang ke rahmat-Nya ketika sandi baru berumur 3 tahun, Seli ( adik pertama Sandi ) berumur 2 tahun, dan Rika ( adik kedua Sandi berumur 3 hari ). Ibu Sandi meninggal dunia setelah melahirkan Rika, tepatnya setelah 3 hari mengalami koma sesudah melahirkan Rika, dan diumur Rika yang ke 3 hari ibu Sandi menghembuskan nafas terakhirnya saat beristirahat ( tidur ) di kamarnya. Awalnya keluarga mengira kalau beliau sedang tidur, tetapi setelah dibangunkan dan tidak ada reaksi, akhirnya bapak Sandi memanggil dokter, setelah diperikasa, ternyata beliau sudah tidak bernafas. Sang Khalik telah memanggilnya. Maha Suci Alloh yang Maha Menciptakan dan mematikan hamba-Nya.

Alloh menggantikan kepergian ibu sandi dengan menghadirkan seorang bayi mungil, adik kedua Sandi di tengah-tengah keluarga mereka. Adik keduanya ini diberi nama ‘ Salsa Salsabila’, namun setelah diasuh oleh paman Sandi, beliau mengganti nama Salsa menjadi Rika Salsabila. Sejak paman Sandi bercerai dengan istrinya, Rika pun pindah tangan ke asuhan neneknya. Sehingga di rumah kecilnya, Sandi hanya tinggal bertiga dengan bapak dan Seli, adik pertamanya. Sejak ibu sandi pergi, Sandi dan adik-adiknya kehilangan sosok ibu yang selama ini menjadi teman, sahabat, pendidik, dan tempat mereka bermanja-manja ria. Secara otomatis bapak Sandi lah yang kini mengambil alih tugas-tugas tersebut. Namun tetap saja, tidaklah sama keadannya sekarang. Mau tidak mau Sandi dan Seli pun harus belajar mandiri dalam melakukan segala sesuatunya.

Pekerjaan bapak Sandi sehari-hari adalah mencari dan mengumpulkan barang-barang bekas. Setiap bapak pergi bekerja, Sandi dan Seli selalu ikut serta. Mereka selalu mendampingi kemanapun bapak pergi. Karena tidak mungkin keduanya ditinggal di rumah mereka yang jauh dari tetangga, Rumah mereka adalah satu-satunya rumah warga yang ada di belakang Asrama. Di samping kanan rumah mereka ada jalan raya yang menuju kiara payung, sedangkan di belakang rumah adalah peternakan sapi dan di sekeliling rumah hanya pepohonan. Orang-orang mungkin tak akan menyangka jika di belakang asrama yang berdiri dengan megahnya itu ternyata ada keluarga kecil yang tinggal di sana, terisolir dari dunia luar.

Sandi, bapak, dan Seli biasa berangkat pagi dan pulang sore atau malam untuk mencari dan mengumpulkan barang-barang plastic bekas. Tiap jengkal Unpad mereka singgahi hanya untuk mengumpulkan barang-barang plastic bekas yang bagi kebanyakan orang mungkin tidak berharga dan hanya dianggap sampah, namun bagi mereka justru menjadi sumber penghasilan untuk bisa membeli makan dan biaya hidup mereka. Meskipun hasilnya tidak sebanding dengan jerih payah mereka.

Berangkat pagi dan pulang ketika maghrib menjelang, sudah menjadi rutinitas sehari-hari mereka. Tiada hari tanpa mengumpulkan barang palstik bekas. Teriknya matahari, baunya sampah-sampah, dan debu yang menempel di tubuh mereka sudah menjadi teman setia mereka.

Kini Sandi sudah menginjak umur 7 tahun lebih 6 bulan, dan Seli sudah berumur 6 tahun, usia ini sewajarnya adalah usia dimana mereka sudah berhak mendapatkan pendidikan di sekolah dasar, namun karena berbagai keterbatasan yang mereka miliki, impian Sandi yang ingin bersekolah di usia 7 tahunnya itu, harus terpending sementara. Bapak Sandi bingung memikirkan nasib ke dua anaknya jika mereka sekolah,akan pakai apa untuk membayar segala keperluanya nanti? Namun, beliau pun lebih kebingungan dan khawatir lagi jika melihat ke dua anaknya harus ikut bersamanya untuk mengumpulkan barang-barang bekas di saat anak-anak seumuran mereka justru asyik dengan masa anak-anaknya di bangku sekolah, bermain dengan bebasnya, belajar dengan ceria, dan menghabiskan waktu bersama teman-teman sebayanya, sedangkan Sandi dan Seli justru harus berkawan dengan teriknya matahari dan barang bekas.

Cita-cita bapak Sandi adalah ingin membahagiakan anak-anaknya agar kelak nasib mereka tidak seperti nasib beliau. Karena alasan itu, sampai sekarang beliau menunda niatan untuk mencari pengganti ibu sandi. Karena menurutnya yang paling utama sekarang adalah kebahagiaan ketiga anaknya. Lagipula, sosok ibu Sandi masih belum bisa digantikan, untuk mengalihkannya bapak Sandi memfokuskan diri dalam mengurus anak-anaknya dulu.
*****

Suatu hari, ketika Sandi, Seli, dan bapak tengah berjalan pulang setelah mengumpulkan barang-barang bekas, dan sampai di depan fakultas pertanian Unpad, bapak Sandi baru teringat kalau karung tempat mereka mengumpulkan barang-barang bekas hasil berkeliling seharian ini ternyata lupa beliau bawa. Karung tersebut tertinggal di dekat sekre bersama BEM Kema Unpad.

Bapak sandi pun berniat mengambil karung tersebut. Sebelum berangkat,beliau berpesan kepada Sandi dan Seli agar mereka tetap berada di tempat itu sampai bapak kembali. Sandi dan Seli pun mengiyakan. Dengan berat hati dan rasa khawatir yang besar bapak pun bergegas menuju tempat barang yang tertinggal. Bapak Sandi sengaja tidak mengajak keduanya karena kasihan melihat Sandi dan Seli, khawatir kecapean, karena itu bapak sengaja pergi sendiri ke sekre BEM dan menyuruh Sandi dan Seli menunggunya di halte depan Faperta.
Beberapa waktu kemudian, ketika bapak kembali ke tempat itu, Bapak sedikit terkejut dan bertanya-tanya mendapati sepasang suami istri terlihat berada di tempat Sandi dan Seli menunggunya. Seli sudah dalam pangkuan sang ibu ketika bapak datang.

Siapakah mereka? Bapak bertanya dalam hati.

Kedua orang asing itu pun memperkenalkan diri. Mereka adalah pemilik salah satu toko di Ciseke yang kebetulan lewat di jalan depan Faperta dan melihat kedua anak kecil, Sandi dan Seli berada di sana tanpa orang tua. Sang Ibu pun tergugah hatinya dan berminat untuk mengajak Sandi dan Seli ke rumahnya. Sebelum bapak datang, ibu tersebut sempat bertanya pada sandi dan Seli perihal keluarga mereka, akhirnya sang ibu tahu kalau mereka ternyata sudah tidak punya ibu, karena itu ibu tersebut ingin mengajak Sandi dan Seli ke rumahnya untuk tinggal sementara di sana. Oleh Karenanya, beliau pun menyampaikan keinginannya kepada bapak Sandi sekaligus meminta izin. Bapak Sandi tidak bisa memutuskan dengan mudah. Beliau menyerahkan keputusan kepada anak-anaknya, apakah menerima ajakan ibu tersebut atau tidak. Saat itu Seli mengiyakan permintaan sang ibu, sedangkan Sandi tetap memilih untuk tinggal bersama bapaknya. Akhirnya Seli pun tinggal di rumah ibu tersebut.

Selama di rumah tanpa kehadiran Seli, Sandi dan bapak merasa sangat kehilangan, tidur tidak nyenyak, makan pun terasa tak enak. Sandi pun menjadi kehilangan teman satu-satunya . Sebagai obatnya, biasanya mereka menyempatkan mampir ke tempat tinggal Seli yang baru setelah selesai berkeliling mengumpulkan barang bekas, tujuannya adalah menengok keadaan Seli dan sebagai pengobat rindu.

Di tempat tinggal Seli yang baru, ternyata Seli disambut hangat oleh keluarga barunya, sang ibu sangat sayang dan perhatian pada Seli. Beliau langsung menyekolahkannya begitu Seli tinggal di rumahnya. Keluarga baru Seli terlihat keluarga yang ‘berada’, sehingga Seli pun dibuat nyaman di sana karena kebutuhannya terpenuhi. Sandi dan bapak sangat bersyukur melihat keadaan Seli yang baik-baik saja, bahkan terlihat semakin ceria dan bahagia di lingkungan barunya.

Kini sudah lebih dari 6 bulan Sandi dan bapak terpisah dengan Seli. Meskipun di awal-awal tinggal dengan keluarga barunya Seli masih sering merajuk untuk minta pulang ke rumah bapak, akan tetapi karena bujukan dari bapak yang memintanya agar tetap tinggal di sana, akhirnya Seli pun bertahan di tempat itu hingga saat ini.
Hal ini bapak lakukan bukan karena bapak tidak sayang pada Seli, sehingga membiarkanannya tinggal dengan orang lain, justru karena beliau teramat menyayangi Seli sehingga bapak tak ingin melihat putrinya sengsara dan menjadi putus sekolah jika tinggal kembali dengannya. Tak mudah bagi bapak untuk membiarkannya tinggal dengan orang-orang baru yang tidak mempunyai hubungan darah dengan mereka, tetapi sulit juga baginya jika harus membiarkan Seli kembali turun mencari barang-barang bekas bersamanya. Hidup Seli kini sudah jauh lebih baik, Bapak tak ingin merusaknya. Meskipun demikian, Bapak selalu berpesan kepada sang ibu, jika keberadaan Seli di rumah beliau hanya merepotkan, maka tak segan Bapak meminta agar ibu memulangkan kembali Seli ke rumah mereka. Namun, Sang ibu pun mempertahankan Seli, beliau berjanji akan merawat Seli dengan baik, kebetulan beliau adalah ibu dari 4 orang anak yang semuanya adalah laki-laki, anak bungsunya sudah masuk kuliah, dan di rumah hanya tinggal berdua dengan suaminya, dari dulu mereka sangat ingin mempunyai anak perempuan, namun Alloh belum mengizinkankannya. Dengan keberadaan Seli di rumahnya kini, sang ibu merasa Seli adalah jawaban dari doa-doanya selama ini. Akhirnya Seli tetap tinggal dengan sang ibu, dan terpisah dari Sandi dan bapak.

Sandi dan Bapak kini hanya tinggal berdua. Keadaan Sandi sangat berbanding terbalik dengan Seli. Di saat Seli mendapatkan keluarga baru yang sangat menyayanginya, Sandi justru kehilangan satu-satunya teman bermainnya, tempat ia berbagi segala hal dan menghabiskan waktu bersama. Di saat Seli nyaman dan bahagia dengan keadaannya sekarang, Sandi masih harus bergelut dengan kegiatan sehari-harinya yaitu menemani bapak mencari barang-barang bekas. Berbeda ketika dulu Seli masih bersamanya. Mereka biasa bermain bersama, mencari barang bekas bersama, makan, tidur, dan menghabiskan waktu bersama. Kini hal itu sangat sulit untuk bisa dilakukan lagi. Seli sudah punya dunia barunya, dan Sandi tidak pernah iri dengan keadaan adiknya sekarang, ia turut bahagia melihat Seli bahagia, ia turut senang melihat Seli senang. Ia adalah sosok yang tulus dan penuh keceriaan. Tak pernah iri meskipun ia tak memiliki apa yang kini dimiliki dan dinikmati adik pertamanya itu. Baginya kebahagiaan Seli adalah kebahagiaannya juga.

Tanpa kehadiran Seli, Sandi dan bapak tetap melakukan rutinitas mereka sehari-hari yaitu mencari dan mengumpulkan barang bekas. Dan Suatu hari, ketika mereka melewati mushola di Faperta, mereka menghentikan langkah sejenak untuk menepi ke tempat tersebut. Bapak Sandi teringat akan rencana pekerjaan yang sempat terlintas dipikirannya. Di depan rumah kecil mereka ada lahan yang cukup luas yang belum termanfaatkan, Bapak Sandi berencana ingin memanfaatkan lahan tersebut untuk melakukan kegiatan bertani agar hasilnya bisa dipanen dan bisa digunakan untuk menutupi kebutuhan mereka sehari-hari. Karena hasil dari menjual barang bekas rupanya kurang bisa menutupi kebutuhan mereka.

Bapak pun memberanikan diri bertanya kepada seorang mahasiswa yang ada di tempat itu. Beliau menanyakan kalau bibit cabai bisa di dapat dimana, beliau ingin minta bibit tersebut untuk menanami lahan di depan rumahnya yang kosong. Berawal dari percakapan bibit tersebut, bapak pun dipertemukan dengan ketua DKM Faperta. Dan pembicaraan tidak saja membahas tentang bibit, akan tetapi mengarah ke pekerjaan bapak. Dalam percakapan itu ketua DKM menawarkan pekerjaan kepada bapak sebagai petugas kebersihan di DKM, kebetulan petugas yang lama sudah lama tidak bekerja, karena itu bapak pun ditawari pekerjaan di tempat tersebut. Setelah memikirkannya dengan pertimbangan yang matang, akhirnya bapak menerima pekerjaan itu.Berawal dari sini lah episode kehidupan Sandi bertemu dengan keluarga barunya dimulai.

Berangkat pagi ke DKM dan sore mencari barang bekas, kini menjadi rutinitas baru Sandi. Dia tak pernah mengeluh dengan kehidupannya. Ia hadapi semuanya dengan penuh keceriaan,ketulusan, dan kesabaran.
Dan dari sini aku pun ditakdirkan bertemu dengan sosok luar biasa ini. Bagiku, cerita hidup dan sosoknya sangat menginspirasi. Aku selalu dibuatnya haru sekaligus kagum jika mendengar cerita hidupnya.

Kini di DKM Al Amanah Faperta ini Sandi telah menemukan keluarga barunya, di sini ia menemukan teman baru, lingkungan baru, pengalaman baru, cerita baru, bahkan sosok kakak yang belum ia punya, di sini lah ia bisa mendapatkannya. Sosok Sandi yang selalu ceria, aktif, dan supel membuatnya banyak dikenal teman-teman mahasiswa faperta khususnya para pengurus DKM,bahkan tukang ojek, supir angkot gratis dan para petugas kebersihan Unpad. Di DKM ini lah ia biasa menghabiskan waktunya sebelum turun mencari barang bekas. Di sini lah tempatnya bermain, berbagi, dan belajar berbagai hal.

Di saat teman-teman seumurannya yang lain dapat belajar di kelas dengan tenang dan nyaman, ia justru memanfaatkan DKM sebagai tempat belajar dan mengajinya, meskipun sering ramai karena banyak mahasiswa/i yang berdatangan untuk sholat di sini, tetapi itu tidak menghalanginya untuk belajar.
Ketika teman-teman seusianya asyik menggunakan waktu kosongnya untuk bermain-main, ia justru harus turun ke berbagai tempat untuk menemani ayahnya mencari dan mengumpulkan barang-barang bekas yang nantinya mereka jual untuk memenuhi kebutuhan hidup mereka.

Di saat teman-teman seumurannya asyik beristirahat,menonton TV, tidur siang, ia justru menghabiskan waktunya untuk menemani dan menunggui ayahnya yang bekerja.
Dan di saat teman-teman seusianya dapat merasakan kasih sayang dan belaian cinta dari seorang ibu yang sangat dicintainya, ia justru tidak bisa mendapatkan itu semua.

Namun ia tak pernah iri, tak pernah mengeluh, tak pernah menuntut, dan tak pernah meminta agar itu semua bisa juga ia dapatkan. Sandi justru menerima semuanya dengan kelapangan, ketulusan, dan keikhlasan. Tidak ada keluhan yang terlontarkan, justru keceriaan lah yang ia tebarkan.

Dia seperti cahaya kecil yang memberikan penerangan di saat keadaan sekelilingnya dalam kegelapan.
Setidaknya, dia adalah cahaya kecil bagi bapaknya , karena dengan keberadaannya di samping bapak, Bapak menjadi termotivasi untuk tetap bertahan dan terus berjuang hingga saat ini. Sandi adalah cahaya harapannya yang selama ini menjadi penyemangat hidup dan teman setianya.

Sandi adalah cahaya bagi adik-adiknya, karena keberadaannya menjadi perantara adik-adiknya mendapatkan jalan baru yang terang , meskipun dia sendiri harus mengorbankan diri untuk tetap berada dalam kegelapan itu.
Bagi almarhumah ibunya, dia adalah cahaya yang melalui keberadaannya dapat memberikan doa-doa yang menjadi penerang ibunya di tempat tinggal abadinya. Dan bagi orang-orang di sekelilingnya, dia adalah cahaya yang selalu menebar keceriaan dan ketulusan, yang membagikan cerita hidupnya yang penuh inspirasi sehingga orang lain dapat mengambil hikmah dari tiap episodenya.

Dan bagiku, dia adalah cahaya kecil yang melalui perantaranya Alloh mengajariku tentang makna keikhlasan, ketulusan, pengorbanan, kesabaran, dan kesederhanaan yang sebenarnya. Darinya aku dapat belajar untuk lebih mensyukuri hidup ini ^____^
Terimakasaih ya Robb.. karena Engkau telah mempertemukanku dengan sosok kecil ini..
Terimaskasih juga karena Engkau telah mempertemukanku dengan orang-orang yang luar biasa di tempat tinggal sementaraku ini..

Semoga kelak Engkau mempertemukan dan mengumpulkan kami kembali di Firdaus-Mu Robb.. amiin

satu rindu untukmu sobat

ukiran nama teridah adalah persahabatan. mengerti, memahami, menyejukan hati... sahabat itu menurutku seperti meniup gelembung sabun, meniupkannya ke udara membuat hati bahgia. tertawa layaknya bocah, menangis saat gelembung itu pecah, tapi tak mengapa. masih banyak kesempatan untuk meniupkannya kembali. dan kita pun akan kembali tertawa...
-Azizah-

Pernah merasakan rasa “rindu” ? Ya, hari ini, rasanya aku sangat merindukan seseorang. Dia adalah seseorang yang melewati banyak fase bersamaku. Aku tidak pernah tahu dari mana ceritanya bermula sehingga kami bisa sedekat ini, dan aku pun tidak pernah tahu bagaimana bisa aku menyayanginya tanpa pernah bisa melupakan rasa sayang yang pernah aku miliki untuknya.

Pernah merasakan rasa buah yang manis yang paling kau suka? Ketika buah itu tidak lagi kau makan untuk jangka waktu yang lama, setiap membayangkan buah itu tentu tetaplah menjadi sebuah hal yang mustahil jika kau melupakan rasa manis buah tersebut bukan? Ya, demikianlah yang aku rasakan setiap mengingat dia, sahabatku. Meski kami pernah mengalami cerita yang akan membuatmu bersikap lebih bijak dengan berusaha tidak mengulangnya lagi, tapi setiap mengingat dirinya, hanya rasa manis cerita persahabatan kita yang terecap di otak dan relung hatiku.

aku sungguh merindukanmu sahabat...
sungguh.... 


i love you, my beloved friends....
semoga Alloh mengumpulkan kita di jannahNya kelak,, ^^

Rainbow,, ^^

“Aku punya banyak warna, dan semua warna tidak untuk semua orang.”
-Azizah-

Aku senang sekali menyebut diriku seperti PELANGI yang turun dikala hujan reda :). Ya…aku juga punya “pelangi” di dalam diriku. Bukan pelangi yang turun setelah aku mengeluarkan air mata lho :p. Aku pernah mengatakan pada teman2ku kalau aku punya banyak warna, dan semua warna tidak untuk semua orang. Warna-warna itu pelangi yang muncul dalam diri aku :)

Hmmm…tidak seperti lagu Ariel yang dulu sering di putar di media TV “Tapi Buka Dulu Topengmu…”. Perlu dicatat, kalau warna2 yang kumiliki dalam diriku itu bukan TOPENG! Aku tidak menyebutnya sebagai topeng, ataupun bermuka dua! T I D A K teman. Bagiku topeng, bermuka dua, mempunyai makna yang berbeda dengan WARNA yang kupunya :D

Warna di sini bisa aku jelaskan kalau aku dapat bersikap dan berprilaku berbeda pada tempat dan orang yang berbeda. Atau lebih singkatnya, aku mempunyai cara berbeda alias tersendiri dalam menyikapi sesuatu. Dan tidak semua kepribadianku aku tunjukkan pada semua orang, termasuk pada sahabat terdekatku sendiri :). Seperti pelangi, ia punya banyak warna, tapi hanya sebagian warna yang hanya kasat di mata kita: merah, kuning, hijau. Mungkin di daerah yang lain, di waktu yang lain pula, pelangi dapat mengeluarkan lebih dari ketiga warna itu. Walaupun terlihat samar2.

Bukan berarti aku wanita yang punya banyak kepribadian dan sulit dimengerti. Pada dasarnya wanita selalu ingin dimengerti dan diperhatikan. Masalah siapa aku mungkin tidak bisa dinilai dengan singkat atau dengan perkenalan “say hello” saja. Kalian bisa menilai aku dari warna2 yang pernah aku perlihatkan dan aku berikan pada kalian :). Tapi, aku lebih senang jika kalian dapat melihat dan menilaiku dari berbagai dimensi yang di dalamnya terdapat banyak warna :). Jangan hanya dari satu atau dua dimensi saja, tidak banyak warna di dalamnya.

Baiklah, buat teman2, maaf jika ada warna yang aku punya menyinggung perasaan kalian atau bahkan kalian tidak suka dengan warna itu :’). Mungkin warnanya sudah kabur, tintanya perlu diisi ulang, hhaa :p, atau ada warna yang menurut kalian terlalu menyilaukan, mungkin tintanya terlalu banyak. Intinya, saya harus bisa mengendalikan warna2 yang ada di dalam diri saya, agar selalu tampak indah^_^.

Jika kalian menemukan banyak warna dalam diriku, dan aku suka sekali menunjukkan warna dominan dari warna yang lain kepada kalian, itu karena KALIAN SPESIAL buat aku. Punya tempat tersendiri di hatiku :). Aku yakin, kalian juga punya banyak warna, dan mungkin lebih bervariasi dan indah n__n.
Saya selalu suka dengan kata2: BE YOUR SELF n DON’T JUDGE IT’S BY COVER.
HIDUP INI INDAH DAN PENUH WARNA.

Cerita Senja dan Aku

“Di saat senja turun, maka kau akan merasakan ketenangan dan kedamaian. Rasakanlah.”
-Azizah-


Senja…
Beberapa teman mengatakan kalau aku suka sekali menggunakan kata SENJA dalam tulisan-tulisanku. Ya…bagiku, senja sangat spesial, ia punya makna tersendiri dan berarti untukku :). Kali ini aku akan mendeskripsikan apa itu SENJA secara kasat mata. Senja yang selama ini selalu hadir mengantarkan malam dengan waktu singkat.

Senja…
Sungguh, Bingkainya sangat INDAH kawan. Ia mengantarkan sang fajar untuk turun dari peraduannya, dan langit pun mulai tersipu malu, merona merah karena sang fajar perlahan turun sambil merayu langit. Kini terlihat langit senja berwarna jingga. Burung-burung pun ikut serta mengantar sang fajar turun, mereka terbang membentuk huruf V, indah sekali! lalu kembali bertengger di atas tali listrik, berjejer rapi. Anak-anak kecil yang masih polos pun juga begitu, berlari ke sana kemari dengan tawa khas mereka, berteriak girang. Atau sering kali mereka menyambut senja dengan berlari, berteriak, bersorak sambil memainkan layangan. Sampai akhirnya ibu mereka berteriak memanggil mereka untuk masuk ke rumah, karena senja hampir usai. Langit yang jingga, burung yang bertengger rapi, ibu-ibu yang berteriak memanggil anak-anaknya untuk masuk ke rumah, menghadirkan suasana hening, tenang, dan damai. Tidak ada lagi kesibukan dunia yang di lakukan. Mungkin yang terdengar hanya suara desiran angin atau suara jangkrik. Ya… itu semua kita lakukan, sadar atau tidak sadar hanya untuk menanti AZAN MAGHRIB kawan. Kita menunjukkan rasa hormat, segan, dan takut kita pada ALLAH. Lain hal dengan azan shubuh, zuhur, ashar, dan isya yang berlalu begitu saja. Merasakah kalian kalau azan maghrib mendapat perlakuan istimewa dari kita? Sadarkah kita akan hal ini?

Untuk itu, SENJA sangat spesial untukku kawan :). Benar-benar ada ketenangan dan kedamaian di sana. Coba kalian perhatikan senja esok hari dan rasakanklah atmosfirnya.
Lepas dari itu, aku juga sering menggunakan kata SENJA sebagai perumpamaan, seperti: “susun dalam bingkai senja”, “keeping-keping senja”, dan lain sebagainya. Senja di sini aku ibaratkan seperti kenangan masa laluku. Senja identik sekali berwarna JINGGA, seperti kenangan masa lalu yang identik dengan warna SEPIA :). Ah, banyak cerita dan makna yang terimpan dalam senja kawan, begitu juga dengan kenangan kita.

Senja…
Aku harap kau tetap begitu, setidaknya aku dapat merasakan ketenangan dan kedamaian dalam beberapa jam saja di tengah kepenatan dunia ini.

Rabu, 27 Februari 2013

Keajaiban-Keajaiban Nabi Muhammad SAW Semasa Kecil


Sebuah tangis bayi yang baru lahir terdengar dari sebuah rumah di kampung Bani Hasyim di Makkah pada 12 Rabi’ul Awwal 571 M. Bayi itu lahir dari rahim Aminah dan langsung dibopong seorang “bidan” yang bernama Syifa’, ibunda sahabat Abdurrahman bin Auf.


“Bayimu laki-laki!”

Aminah tersenyum lega. Tetapi seketika ia teringat kepada mendiang suaminya, Abdullah bin Abdul Muthalib, yang telah meninggal enam bulan sebelumnya. Ya, bayi yang kemudian oleh kakeknya diberi nama Muhammad (Yang Terpuji) itu lahir dalam keadaan yatim. Ayahnya meninggal di Yatsrib ketika beliau berusia tiga bulan dalam kandungan ibundanya.

Kelahiran yang yatim ini dituturkan dalam Al-Quran, “Bukankah Dia mendapatimu sebagai seorang yatim, lalu Dia melindungimu?” — QS Adh-Dhuha (93): 6.

Aminah, janda beranak satu itu, hidup miskin. Suaminya hanya meninggalkan sebuah rumah dan seorang budak, Barakah Al-Habsyiyah (Ummu Aiman). Sementara sudah menjadi kebiasaan bangsawan Arab waktu itu, bayi yang dilahirkan disusukan kepada wanita lain. Khususnya kepada wanita dusun, supaya hidup di alam yang segar dan mempelajari bahasa Arab yang baku.

Ada hadits yang mengatakan, kebakuan bahasa warga Arab yang dusun lebih terjaga. Menunggu jasa wanita yang menyusui, Aminah menyusui sendiri Muhammad kecil selama tiga hari. Lalu dilanjutkan oleh Tsuwaibah, budak Abu Lahab, paman Nabi Muhammad, yang langsung dimerdekakan karena menyampaikan kabar gembira atas kelahiran Nabi, sebagai ungkapan rasa senang Abu Lahab.

Air Susu yang Melimpah

Beberapa hari kemudian, datanglah kafilah dari dusun Bani Sa’ad, dusun yang jauh dari kota Makkah. Mereka menaiki unta dan keledai. Di antara mereka ada sepasang suami-istri, Harits bin Abdul Uzza dan Halimah As-Sa’diyah. Harits menaiki unta betina tua renta dan Halimah menaiki keledai yang kurus kering. Keduanya sudah memacu kendaraannya melaju, tetapi tetap saja tertinggal dari teman-temannya.

Halimah dan wanita lainnya yang datang ke Makkah sedang mencari kerja memberi jasa menyusui bayi bangsawan Arab yang kaya. Sebagaimana dalam kehidupan modern, baby sitter akan mendapatkan bayaran yang tinggi bila dapat mengasuh bayi dari keluarga kaya.

Sampai di kota Makkah, Halimah menjadi cemas, sebab beberapa wanita Bani Sa’ad yang tiba lebih dulu sedang ancang-ancang mudik karena sudah berhasil membawa bayi asuh mereka.

Setelah ia ke sana-kemari, akhirnya ada juga seorang ibu, yaitu Aminah, yang menawarkan bayinya untuk disusui. Namun ketika mengetahui keadaan ibu muda yang miskin itu, Halimah langsung menampik.

Dia dan suaminya berkeliling kota Makkah, tetapi tidak ada satu pun ibu yang menyerahkan bayinya kepadanya untuk disusui. Ya, bagaimana mereka percaya, seorang ibu kurus yang naik keledai kurus pula akan mengasuh dengan baik bayi mereka?

Hampir saja Halimah putus asa, ditambah lagi suaminya sudah mengajaknya pulang meski tidak membawa bayi asuh. Namun, ia berkata kepada suaminya, “Aku tidak ingin pulang dengan tangan kosong. Alangkah baiknya kalau kita mau mengambil anak yatim itu sambil berniat menolong.”

“Baiklah, kita bawa saja anak yatim itu, semoga Allah memberkahi kehidupan kita,” ujar suaminya. Setelah ada kesepakatan tentang harga upah menyusui, Muhammad kecil diberikan kepada Halimah. Wanita kurus kering itu pun mencoba memberikan puting susunya kepada bayi mungil tersebut.

Subhanallah! Kantung susunya membesar, dan kemudian air susu mengalir deras, sehingga sang bayi mengisapnya hingga kenyang. Dia heran, selama ini susunya sendiri sering kurang untuk diberikan kepada bayi kandungnya sendiri, tetapi sekarang kok justru berlimpah, sehingga cukup untuk diberikan kepada bayi kandung dan bayi asuhnya?

Berbarengan dengan keanehan yang dialami Halimah, suaminya juga dibuat heran, tak habis pikir, mengapa unta betina tua renta itu pun tiba-tiba kantung susunya membesar, penuh air susu.

Halimah turun dari. keledainya, dan terus memerah susu itu. Dia dan suaminya sudah dalam keadaan lapar dan dahaga. Mereka meminumnya sehingga kenyang dan puas. Semua keajaiban itu membuat mereka yakin, “Anak yatim ini benar-benar membawa berkah yang tak terduga.”

Halimah menaiki dan memacu keledainya. Ajaib! Keledai itu berhasil menyalip kendaraan temannya yang mudik lebih dulu.

“Halimah! Halimah! Alangkah gesit keledaimu. Bagaimana ia mampu melewati gurun pasir dengan cepat sekali, sedangkan waktu berangkat ke Makkah ia amat lamban,” temannya berseru. Halimah sendiri bingung, dan tidak bisa memberikan jawaban kepada teman-temannya.

Sampai di rumah pun, anak-anaknya senang, sebab orangtua mereka pulang lebih awal dari orang sekampungnya. Apalagi kemudian ayah mereka membawa air susu cukup banyak, yang tiada lain air susu unta tua renta yang kurus kering itu.

Dalam sekejap, kehidupan rumah tangga Halimah berubah total. Dan itu menjadi buah bibir di kampungnya. Mereka melihat, keluarga yang tadinya miskin tersebut hidup penuh kedamaian, kegembiraan, dan serba kecukupan.

Domba-domba yang mereka pelihara menjadi gemuk dan semakin banyak air susunya, walaupun rumput di daerah mereka tetap gersang. Keajaiban lagi!

Peternakan domba milik Halimah berkembang pesat, sementara domba-domba milik tetangga mereka tetap saja kurus kering. Padahal rumput yang dimakan sama. Karena itulah, mereka menyuruh anak-anak menggembalakan domba-domba mereka di dekat domba-domba milik Halimah. Namun hasilnya tetap saja sama, domba para tetangga

itu tetap kurus kering.


Pembelahan Dada

Muhammad kecil disusui Halimah sekitar dua tahun. Oleh Halimah, bayi itu dikembalikan kepada ibunya, Aminah. Namun ibunya mengharapkan agar Muhammad tetap ikut dirinya, sebab ia khawatir bayi yang sehat dan montok tersebut menjadi terganggu kesehatannya jika hidup di Makkah, yang kering dan kotor.

Maka Muhammad kecil pun dibawa kembali oleh Halimah ke dusun Bani Sa’ad. Bayi itu menjadi balita, dan telah mampu mengikuti saudara-saudaranya menggembala domba. Ingat, hampir semua nabi pernah menjadi penggembala. Muhammad saat itu sudah berusia empat tahun dan dapat berlari-lari lepas di padang rumput gurun pasir. la, bersama Abdullah, anak kandung Halimah, menggembala domba-domba mereka agak jauh dari rumah.

Di siang hari yang terik itu, tiba-tiba datanglah dua orang lelaki berpakaian putih. Mereka membawa Muhammad, yang sedang sendirian, ke tempat yang agak jauh dari tempat penggembalaan. Abdullah pada waktu itu sedang pulang, mengambil bekal untuk dimakan bersama-sama dengan Muhammad, di tempat menggembala, karena mereka lupa membawa bekal.

Ketika Abdullah kembali, Muhammad sudah tidak ada. Seketika itu juga ia menangis dan berteriak-teriak minta tolong sambil berlari pulang ke rumahnya. Halimah dan suaminya pun segera keluar dari rumahnya. Dengan tergopoh-gopoh mereka mencari Muhammad kesana-kemari. Beberapa saat kemudian, mereka mendapatinya sedang duduk termenung seorang diri di pinggir dusun tersebut.

Halimah langsung bertanya kepada Muhammad, “Mengapa engkau sampai berada di sini seorang diri?” Muhammad pun bercerita. “Mula-mula ada dua orang lelaki berpakaian serba putih datang mendekatiku. Salah seorang berkata kepada kawannya, ‘Inilah anaknya.’

Kawannya menyahut, `Ya, inilah dia!’ Sesudah itu, mereka membawaku ke sini. Di sini aku dibaringkan, dan salah seorang di antara mereka memegang tubuhku dengan kuatnya. Dadaku dibedahnya dengan pisau. Setelah itu, mereka mengambil suatu benda hitam dari dalam dadaku dan benda itu lalu dibuang. Aku tidak tahu apakah benda itu dan ke mana mereka membuangnya.

Setelah selesai, mereka pergi dengan segera. Aku pun tidak mengetahui ke mana mereka pergi, dan aku ditinggalkan di sini seorang diri.” Setelah kejadian itu, timbul kecemasan pada diri Halimah dan suaminya, kalau-kalau terjadi sesuatu terhadap si kecil Muhammad. Karena itulah, keduanya menyerahkan dia kembali kepada Ibunda Amina. [infokito]

Wallahu a’lam


Wajah Rasulullah

Perlu kita fahami bahwa wajah Sang Idola saw adalah wajah yang dipenuhi cahaya kelembutan dan kasih sayang, karena beliau adalah pembawa Rahmat bagi sekalian alam, maka wajah beliau penuh kasih sayang, demikian pula ucapan beliau saw, perangai, tingkah laku, dan bahkan bimbingan beliau saw pun penuh dengan kasih sayang Allah swt.

Seorang lelaki bertanya kepada Albarra? bin Azib ra : “Apakah wajah Rasul saw seperti pedang ?” (bukankah beliau banyak berperang, apakah wajahnya bengis bak penguasa kejam?), maka menjawablah Albarra? bin Azib ra : “Tidak.. tapi bahkan wajah beliau bagai Bulan Purnama..”, (kiasan tentang betapa lembutnya wajah beliau yang dipenuhi kasih sayang) (Shahih Bukhari hadits no.3359, hadits serupa Shahih Ibn Hibban hadits no.6287).

Diriwayatkan oleh Jabir bin samurah ra :“wajah beliau saw bagaikan Matahari dan Bulan” (Shahih Muslim hadits no.2344, hadits serupa pada Shahih Ibn Hibban hadits no.6297), demikian pula riwayat Sayyidina Ali.kw, yang mengatakan : “seakan akan Matahari dan Bulan beredar di wajah beliau saw”. (Syamail Imam Tirmidzi), demikian pula diriwayatkan oleh Umar bin khattab ra bahwa “Rasul saw adalah manusia yang bibirnya paling indah”.

Al Imam Alhafidh Syeikh Abdurrahman Addeba?I mengumpulkan ciri ciri sang Nabi saw :
“Beliau saw itu selalu dipayungi oleh awan dan diikuti oleh kabut tipis, hidung beliau saw lurus dan indah, Bibirnya bagaikan huruf Miim (kiasan bahwa bibir beliau tak terlalu lebar tak pula sempit dan sangat indah), Kedua alisnya bagaikan huruf Nuun, (kiasan bahwa alis beliau itu tebal dan sangat hitam dan bersambung antara kiri dan kanannya)”.

Dari Abi Jahiifah ra : “Para sahabat berebutan mengambil telapak tangan beliau dan mengusapkannya di wajah mereka, ketika kutaruh telapak tangan beliau saw diwajahku ternyata telapak tangan beliau saw lebih sejuk dari es dan lebih wangi dari misik” (Shahih Bukhari hadits no.3360).

Berkata Anas ra : “Tak kutemukan sutra atau kain apapun yang lebih lembut dari telapak tangan Rasulullah saw, dan tak kutemukan wewangian yang lebih wangi dari keringat dan tubuh Rasul saw” (Shahih Bukhari hadits no.3368). “Kami tak melihat suatu pemandangan yg lebih menakjubkan bagi kami selain Wajah Nabi saw”. (Shahih Bukhari hadits no.649 dan Muslim hadits no.419)“Ketika perang Uhud wajah Rasul saw terluka dan mengalirkan darah segar, maka putrinya yaitu Sayyidah Fathimah ra mengusap darah tersebut dan Sayyidina Ali kw memegangi beliau saw, namun ketika terlihat darah itu terus mengalir, maka diambillah tikar dan dibakar, maka debunya ditaburkan diluka itu, maka darahpun terhenti”. (Shahih Bukhari hadits no.2753).

Dari anas bin malik ra : “Dan saat itu dirumah hanya aku, ibuku dan bibiku, lalu selepas shalat beliau berdoa untuk kami dengan kebaikan Dunia dan Akhirat, lalu Ibuku berkata : “doakan pelayanmu ini wahai Rasulullah..” (maksudnya Anas ra), maka Rasul saw mendoakanku dan akhir doanya adalah : “Wahai Allah Perbanyak Hartanya dan keturunannya dan berkahilah” (Shahih Muslim hadits no.660).

“Dan beliau saw itu adalah manusia yg terindah wajahnya, dan terindah akhlaknya” (Shahih Bukhari hadits no.3356) . “Dan beliau saw itu adalah manusia yg termulia dan manusia yg paling dermawan, dan manusia yang paling berani saw” (Shahih Bukhari hadits no.5686).

Dari Abu Hurairah ra : “Wahai Rasulullah.., bila kami memandang wajahmu maka terangkatlah hati kami dalam puncak kekhusyu’an, bila kami berpisah maka kami teringat keduniawan, dan mencium istri kami dan bercanda dengan anak anak kami” (Musnad Ahmad Juz 2 hal.304, hadits no.8030 dan Tafsir Ibn katsir Juz 1 hal.407 dan Juz 4 hal.50).

keluargaku... sahabatku... ahhh... semuanya...

kami KELUARGA DSPATU

olahraga ceriaaaaaaa

eksis pasca drama

gunung tangkuban perahu menyimpan cerita misteri..

outbound di leuwi opat curug tilu

landmark bercerita

maen kartu kala senggang #ups ketauan pak endang,, :p

terima kasih ikhwah fillah...
d'spatu!!! ya... sebuah nama yang selalu membuat diri ini ingin terus BANGKIT dan bangkit...
ketika harapanku tiada, engkaulah yang berdiri tegak membopong tubuh ini agar aku tetap berdiri,,,
ikhwah fillah... aku kini malu pada kalian, terlalu banyak aku membuat antum repot... dengan segala kisahku yang menyesakan, antum senantiasa mengorbankan telinga untuk mendengar keluh kesahku.. ya.... sebenarya tak sepantasnya aku mengeluh... dari semenjak kita dipertemukan oleh Alloh, dari sanalah aku punya keinginan untuk mempunyai cita... aku banyak belajar dari antum semua, belajar tentang KEHIDUPAN...
Rasulullah Saw bersabda:

"Orang yang memiliki kasih sayang, bakal disayang oleh Allah Yang Maha Penyayang - Yang Maha Memberi Berkah dan Maha Luhur, karena itu berikan kasih sayang kepada siapapun di muka bumi, maka yang di langit, akan menyayangimu."

(HR.Ahmad, Abu Dawud dan Tirmidzi)

Segala puji bagi Allah yg telah memperkenalkan aku dengan beberapa orang yang sampai saat ini menjadi sahabat terbaikku.. Orang yang tetap ada di saat aku telah kehilangan cinta.. Orang yang selalu mengulurkan tangannya..,membantuku tuk bangun kembali dari keterpurukanku..(antum pasti ingat lika liku kisahku waktu di MAN,,,  tatkala semua harapku hilang.... tatkala semangatku pudar... antum dengan sigap merapikan serpihan kesedihan ini...)

Pernah suatu kali kubertanya pada seseorang.. "bagaimana sesungguhnya cinta sejati itu?" Dan dia menjawab.. "cinta sejati adalah cinta kepada seorang sahabat yang tak terungkapkan dengan kata-kata".. Sejenak kuterdiam.. Apakah memang itu makna cinta yg sesungguhnya? Kenapa sedikit berbeda dengan yang aku pahami selama ini.. Hmmm.. Tetapi kalau di renungkan ada benarnya juga.. Cinta kepada seorang sahabat.. Biasanya selalu "memberi" tapi tak pernah "meminta"..

Disadari atau tidak, pasti kita juga menyayangi sahabat kita, jika tidak..,mana mungkin kita selalu bersedia meluangkan waktu untuknya.. memperhatikannya.. senantiasa mendoakan kebaikan untuknya, tanpa mengharapkan suatu apa dari dia.. inilah ketulusan hati yang sebenarnya. Merasa bahagia jika dia memperoleh kebahagian yang di impikannya, sebaliknya juga ikut sedih jika dia sedang merasa kesusahan.

antumlah.. orang yang mampu membuat aku tersenyum kembali.. memberikan nasehat & semangat yang membuat aku sanggup menjalani hari yang ada kalanya terasa berat.. :)

Inilah kasih sayang yang terbentuk dari sebuah persahabatan.. Anugerah yang tak ternilai dengan suatu apa pun..aku mencintai antum karena Alloh...
semoga ikatan ini terjalin sampai syurgaNYA kelak...
maafkan diri ini sobat,,,
tetap istiqomah ya.... ingatlah, Alloh akan selalu membantu hambaNYA selagi ia mampu membantu saudaranya...
jadilah pribadi yang " anfa'unNass "
semangggggggggaaaaaaaaaaaattttt!!!
i love u all fillaah.. ^^

sepotong episode...


 Kisahku ini berawal saat aku masuk SMP, saat dimana aku menjadi sosok yang selalu bikin onar. Tak sedikit hukuman yang pernah kurasakan. Aku adalah anak perempuan yang tomboi, kerjaanku hanyalah bikin ribut saja. Hal ini disebabkan karena aku ingin mencari perhatian dari kedua orang tuaku yang selalu sibuk dengan pekerjaan mereka tanpa memperdulikan hidupku.
Hari ini, aku memegang erat surat peringatan dari sekolah. Permasalahannya tidak terlalu rumit sih, gara-gara “anak” itu, kini aku harus merasakan kebingungan yang amat sangat.
            Anak itu adalah anak kepala sekolah, teman berantem disela-sela jenuhnya belajar. Kita emang beda kelas, tapi “kedekatan” kita sebagai pasangan yang selalu ribut tiap hariny telah menjadi rahasia umum di sekolah ini. Sampai suatu ketika, kejadiaan yang tidak disangka-sangka…

Seusai shalat dzuhur, kucari-cari sepatuku yang tersimpan di loker penyimpanan. Tapi nihil… tatkala kulihat ke atas genting mushola, sepatuku terpasang indah di atas sana plus kaos kakinya yang melambai-lambai tertiup angin. Di sudut mushola kudengar tawa renyah dari anak itu.
“hahhaaa… emang enak!! Makanya jangan bikin ulah sama gue.”  Amarahku meluap-luap, tapi tak terlampiaskan. Rasanya sesak sekali… Akhirnya, syaitan berhasil menguasai pikiranku. Sepatu pentofel temanku yang masih tersimpan rapi di dalam loker itu dengan cepat melayang ke arah mukanya. Kulihat ia mengarung kesakitan, hidung dan mulutnya berdarah. Raungannya mengagetkan orang-orang yang masih berada di dalam mushola. Dengan cepat mereka keluar, menatapku tak percaya. Seseorang dengan sigap melaporkan kejadian itu pada kepala sekolah. Hingga akhirnya, sebuah surat peringatan ini ada didalam genggaman tanganku.
            Apa yang harus aku lakukan??? Minta maafkah?? Tidak. Ini bukan salahku, salah sendiri bikin aku kesal. Terus, gimana nasibku??? Aku takut, abah akan marah besar… Atau, surat ini aku buang saja?? Anggap saja kejadian ini tak pernah terjadi… Tapi gimana kalau nanti kalau aku ditanya oleh pak kepala sekolah… Aaaaarrrggghhh… hidup ini kejam!!! Pikirku.
            Hingga akhirnya…
Plaaakkk…!!!
            Tangan kokoh abah (ayah) mendarat dipipiku. Sesaat ku tatap wajah abah yang memerah. Luapan amarahnya yang baru pertama kali kulihat membuat syaraf dendritku mengeras.
Aku ditampar??? Semarah itukah abah hingga ia menamparku?
“Surat peringatan lagi??? Ini yang ke tiga kalinya kamu menyerahkan surat peringatan padaku. Astagfirullah… apa salahku ya Allah… salahkah aku dalam mendidiknya???” Abah terduduk di depanku. Terdengar isak tangis ibu yang seolah ditahan.
Kutundukan wajahku, aku malu dan aku menyesal… Mataku terasa panas sekali, seolah akan terjadi badai lahar dari mataku. Kurasakan otot lakrimalku kaku.
Hening…
            Hingga akhirnya aku bejalan gontai menuju kamarku. Di dalam kamar, badai lahar itu akhirnya keluar juga, setelah sekian lama membeku kini aku benar-benar menangis. Di sela tangisku, kudengar pembicaraan abah dan ibu… Aku akan dimasukankan ke pesantren??? Ya Allah… aku gak mau!!! Bukankah pesantren itu suatu tempat yang mengerikan??? Banyak peraturannya… Aku gak mau!!! Isak tangisku makin menjadi.
            Esoknya, aku berangkat sekolah bersama abah. Ku trus berdoa semoga abah berubah pikiran untuk tidak memasukanku ke pesantren.
“Hmm.. bah, benarkah aku mau dimasukan ke pesantren? Bukankah pesantren itu tempat yang tidak mengasyikan? Bukankah pesantren itu tempat untuk mencetak generasi muda menjadi seorang yang kuper??” Ku coba menanyakan sesuatu yang mengganjal pikiranku.
“Hmmm…” abah tidak menjawab pertanyaanku. Hanya “hmm” saja?? Maksudnya apa?
            Sesampainya di sekolah, ku duduk di kursi dalam ruangan yang ber-AC, ya inilah ruangan kepala sekolah. Setelah berdiskusi cukup lama, akhirnya aku diberikan kesempatan sekali lagi untuk tetap berada di sekolah ini dengan syarat aku tidak membuat onar lagi, dan….. oh tidak… aku harus minta maaf pada anak yang belagu itu??? Iihhh.. amit-amit deh… tapi ini harus kulakukan demi menjaga nama baik keluargaku juga. Oke no problem…
            Hari itu, aku belum diizinkan untuk mengikuti pelajaran. Oleh karena itu, abah langsung mengajaku pulang. Huufhh.. alhamdulillah akhirnya masalahku beres juga, gak jadi masuk pesantren deh,,, yeeeeeeeeeesss!!! Pikirku.
            Tapi… kok abah membelokan motornya ke arah yang berlawanan dengan rumahku???
Menyusuri jalan yang tidak aku kenal,,, walaupun ternyata kawasan ini dekat dengan sekolahku, tapi aku merasa asing dengan tempat ini. Sekilas ku lihat sebuah tulisan Arab indah di sebuah gapura di tengah-tengah gerbang masuk yang sangat besar.
MA’HAD MIFTAHUL FALAH??? Apa-apaan ini???
            Abah disambut hangat oleh seoranga laki-laki paruh baya, seolah ia sudah kenal lama sama abah. terlihat akrab sekali. Sesekali ku perbaiki jilbabku yang pendek, kutarik-tarik hingga menutupi dada, tapi tetap saja tak bisa. Ya, aku berkerudung pendek saat aku masuk SMP itu juga karena paksaan dari abah. Kuedarkan mataku menyusuri tempat-tempat di sekelilingku. Inikah yang dinamakan pesantren itu? Cewe-cewenya alim-alim banget, pake kerudung gede dan rok komplit dengan kaos kaki dan kain kecil yang dipakaikan dilengannya(manset). Gak gerah apa???.

“Nak… abah cuma mengantarmu saja, sekarang abah mau pulang ke rumah, barang-barangmu udah di bawa ke sini sama ibu tadi padi. Dan sekarang semuanya sudah tertata rapi di kamarmu yang baru. Belajar yang bener ya dan kamu bisa pulang kalau kamu benar-benar sudah sadar dan berubah…” Aku kaget, seketika itu juga abah pergi. Punggungnya kulihat hingga akhirnya tak terlihat, suara motor abahku kini semakin menjauh. Ingin sekali ku berteriak, AKU MAU IKUT PULANG…

            Hari-hariku begitu tidak menyenangkan. Tiap hari aku mengaji, tapi aku tak mengerti apa yang sedang kupelajari. Disini, tetap saja aku selalu bikin onar, dan tiap hari Pak Kiayi melaporkan itu semua pada orang tuaku, hingga hari itu pun tiba…
Ibu sakit parah. Kata abah, ibu sakit gara-gara menangisi sikapku tiap malam.
            Aku ingin pulang, aku ingin melihat kondisi ibu. Tapi aku tidak diizikan pulang oleh abah dan pak kiayi. Aku menangis, ingin rasanya kupeluk tubuh ibu, meminta maaf padanya. Saat itu pula aku pinjam telepon dari pesantren, suara abah terdengar sayup-sayup dari sebrang sana. Aku ingin mendengarkan suara ibu… tatkala kudengar suara parau ibu, seketika itu pula aku menangis tersedu.. begitu kangennya aku padamu bu… sudah hampir satu tahun aku tak bertemu denganmu.
“Jadilah anak yang shalehah ya nak, jangan sia-siakan perjuanganmu di pesantren. Petiklah buah yang manis dari semua kerja kerasmu disana. Kekuatan dan keinginan untuk berubah ada pada hatimu nak.” Isak tangis ibu terdengar jelas di telingaku.
Di kobong(kamar), Kutunaikan shalat malam, kulantunkan doa dan ayat Al-Quran. Hingga aku tertegun pada sebuah ayat di dalam Al-Quran.
“Sesungguhnya Allah tidak akan mengubah nasib suatu kaum kecuali kaum itu sendiri yang mengubah apa apa yang pada diri mereka ” QS 13:11
 Pantaskah aku untuk berubah setelah banyak kesalahan yang telah membuat orang tuaku menangis karnanya??? Aku ingin berubah ya Allah…
            Kupakai kerudung panjang yang terlipat rapi di dalam lemariku, ibuku yang membelikan ini semua. Tapi tak pernah sekalipun aku memakainya. Seketika kutatap cermin, kuteteskan embun dingin dari mataku, tak pernah kurasakan ketenangan batin seperti ini. ada gemuruh indah di batinku. Inikah hidayahMU wahai Allah yang membolak-balikan hati???
“Kan ku genggam hidayah ini erat-erat selamanya”
            Mulai saat ini aku adalah aku yang baru, aku yang akan senantiasa menjaga sikap. Aku yang akan membuat lengkungan senyum bangga di bibir abah dan ibu, saatnya aku bertransformasi dari seeokor ulat menjadi kupu-kupu, dari seekor itik menjadi angsa. Saatnya aku menorehkan sejarah hidupku yang baru dan menutup lembaran suramku, cukup dijadikan suatu pelajaran saja apa yang sudah terjadi. Istiqomahkan aku ya Allah.